Beranda | Artikel
Shalat Dhuha
Selasa, 1 April 2014

Shalat Dhuha

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan shalat-shalat sunnah untuk menyempurnakan ibadah shalat wajib yang terkadang tidak dapat sempurna pahalanya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

“Sungguh, amalan hamba yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila shalat wajibnya kurang sedikit, maka Rabb ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu’ (shalat sunnah)!’ Lalu, dengannya disempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajibnya tersebut, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian.” (Hr. at-Tirmidzi)

Di antara perkara yang disyariatkan adalah shalat dhuha.

Keutamaan Shalat Dhuha

Shalat dhuha memiliki banyak keutamaan, di antaranya:

Keutamaan pertama, mencukupkan sedekah sebanyak persendian manusia, yaitu tiga ratus enam puluh persendian, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang berbunyi,

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

Dari Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda, “Setiap hari bagi setiap persendian dari salah seorang di antara kalian terdapat kewajiban untuk bersedekah. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar makruf nahi munkar adalah sedekah. Semua itu tercukupkan dengan dua rakaat shalat yang dilakukan di waktu dhuha.” (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Shalat ad-Dhuha, no. 720)

Hal ini lebih diperjelas dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

فِي الْإِنْسَانِ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ قَالُوا وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ النُّخَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنْ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ

“‘Dalam diri manusia ada tiga ratus enam puluh persendian, lalu dari setiap sendinya diwajibkan untuk bersedekah.’ Mereka berkata, ‘Siapa yang mampu demikian, wahai Nabi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Memendam riak yang ada di mesjid dan menghilangkan sesuatu (gangguan) dari jalan. Apabila tidak mendapatkannya, maka dua rakaat shalat dhuha mencukupkanmu.`” (Hr. Abu Daud, no. 5242; dinilai shahih oleh al-Albani dalam kitab Irwa al-Ghalil: 2/213 dan at-Ta’liq ar-Raghib: 1/235)

Keutamaan kedua, Allah menjaga orang yang melaksanakan empat rakaat shalat dhuha pada hari tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang berbunyi,

عن عقبة بن عامر الجهني رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن الله عز و جل يقول يا ابن آدم اكفني أول النهار بأربع ركعات أكفك بهن آخر يومك

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani radhiallahu ‘anhu, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Allah berfirman, Wahai Bani Adam, shalatlah untuk-Ku di awal siang hari sebanyak empat rakaat, niscaya Aku menjagamu di sisa hari tersebut.” (Hr. at-Tirmidzi, Kitab Shalat, Bab Ma Ja`a fi Shalat ad-Dhuha, no. 475; Abu Isa berkata, “Hadits hasan gharib;” hadits ini dinilai shahih oleh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau atas kitab at-Tirmidzi, sert al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi: 1/147)

Keutamaan ketiga, shalat dhuha adalah shalat al-awwabin (orang yang banyak bertaubat kepada Allah). Hal ini disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,

لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ قَالَ وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ

“Tidaklah menjaga shalat dhuha, kecuali orang yang banyak bertaubat kepada Allah.” (Hr. al-Hakim dalam al-Mustadrak: 1/314; dinilai sebagai hadits hasan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1994, lihat: 2/324)

Hukum Shalat Dhuha [1]

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat dhuha dalam beberapa pendapat, yaitu:

Pendapat pertama, hukum shalat dhuha adalah sunnah mutlak dan disunnahkan untuk melakukannya setiap hari. Inilah mazhab mayoritas ulama. Mereka berargumentasi dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan shalat dhuha.
2. Hadits Abu Hurairah radhiyalahu ‘anhu yang berbunyi,

أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ

“Kekasihku shallalahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepadaku dengan tiga hal: berpuasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat shalat dhuha, dan witir sebelum tidur.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Syekh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa shalat al-Dhuha adalah sunnah mutlak yang dilakukan setiap hari. [2]

3. Hadits Mu’adzah al-‘Adawiyah ketika menanyakan sebuah pertanyaan kepada ‘Aisyah,

كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا شَاءَ

“Berapa rakaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melaksanakan shalat dhuha?” Beliau menjawab, “Empat rakaat, dan beliau menambahnya sebanyak yang beliau inginkan.” (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbaab Shalat Dhuha, no. 719)

Pendapat kedua, hukum shalat dhuha adalah sunnah namun tidak dilakukan setiap hari. Inilah pendapat Mazhab Hambali.

Pendapat ketiga, hukumnya bukan sunnah. Inilah pendapat Ibnu Umar.

Pendapat keempat, shalat dhuha hanya disunnahkan karena sebab tertentu. Inilah yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Beliau menyatakan, “Barangsiapa yang menelaah hadits-hadits marfu’ dan atsar sahabat tentu mendapatkan bahwa mereka hanya menunjukkan pendapat ini. Adapun hadits-hadits anjuran dan wasiat untuk melakukannya, maka yang shahih darinya, seperti hadits Abu Hurairah dan Abu Dzar, tidak menunjukkan bahwa shalat dhuha adalah sunnah yang terus dikerjakan untuk setiap orang.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiati Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan wasiat tersebut, karena telah diriwayatkan bahwa Abu Hurairah dahulu memilih belajar hadits di malam hari dibandingkan melaksanakan shalat. Kemudian, beliau memerintahkan Abu Hurairah untuk melakukan shalat sunnah diwaktu dhuha sebagai ganti shalat malamnya. Oleh karena itu, Abu Hurairah diperintahkan untuk tidak tidur kecuali setelah berwitir, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada Abu Bakar, Umar, dan seluruh sahabat lainnya.” [3]

Sedangkan Ibnu Taimiyah, setelah menjelaskan sunnahnya shalat dhuha, menyatakan, “Tinggal masalah apakah yang utama adalah melakukannya secara berkesinambungan atau tidak, karena mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ini yang menjadi perselisihan para ulama. Yang rajih adalah bahwa barangsiapa yang terus-menerus melakukan shalat malam, maka itu mencukupkannya dari melakukan shalat dhuha terus-menerus, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu demikian. Barangsiapa yang tidak melakukan shalat malam, maka shalat dhuha menjadi pengganti shalat malam baginya.” [4]

Yang rajih, insya Allah adalah pendapat pertama, karena keumuman anjuran melakukan shalat al-dhuha Hal inilah yang dirajihkan oleh Syekh Ibnu Utsaimin. Beliau menyatakan, “Yang rajih adalah (bahwa shalat dhuha) adalah sunnah mutlak yang terus-menerus dilakukan. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

“Setiap persendian dari salah seorang kalian wajib untuk bersedekah setiap hari.”

Para ulama menjelaskan bahwa persendian manusia berjumlah tiga ratus enam puluh persendian dalam tubuh, sehingga setiap orang harus bersedekah tiga ratus enam puluh sedekah per hari. Namun, sedekah ini bukanlah sedekah harta, tapi berupa amalan taqarrub kepada Allah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَفِي كُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

‘Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah,amar makruf nahi munkar adalah sedekah. Semua itu tercukupkan dengan shalat dua rakaat yang dilakukan di waktu dhuha.’

Berdasarkan hadits ini, kami berpendapat bahwa shalat dhuha adalah sunnah yang selalu dikerjakan, karena kebanyakan manusia tidak mampu memberikan sedekah hingga tiga ratus enam puluh sedekah.” [5] Wallahu a’lam.

Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha

Waktu shalat dhuha dimulai dari terbitnya matahari hingga menjelang matahari tergelincir (zawal). Syekh Ibnu Utsaimin merinci waktu ini ketika menjelaskan awal dan akhir waktu dhuha. Beliau menyatakan bahwa waktu dhuha berawal setelah matahari terbit seukuran tombak, yaitu sekitar semeter. Dalam hitungan jam yang ma’ruf adalah sekitar 12 menit (setelah terbitnyamatahari) dan jadikan saja sekitar seperempat jam, karena lebih hati-hati.

Apabila telah berlalu seperempat jam dari terbit matahari, maka hilanglah waktu terlarang dan telah masuklah waktu shalat dhuha. Sedangkan akhir waktunya adalah sekitar sepuluh menit sebelum tergelincirnya matahari.” [6]

Adapun dasar awal waktu dhuha adalah hadits Abu Dzar yang berbunyi,

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ

Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Allah berfirman, “Wahai Bani Adam, shalatlah empat rakaat untuk-Ku di awal siang hari, niscaya aku menjagamu di sisa hari tersebut.”

Waktu dhuha berakhir dengan tergelincirnya matahari yang menjadi awal waktu zuhur. Adapun jeda sebelumnya diberlakukan karena adanya larangan shalat sebelum tergelincirnya matahari.

Oleh karena itu, Syekh Ibnu Utsaimin menyatakan, “Kalau begitu, waktu shalat dhuha dimulai setelah keluar dari waktu larangan (untuk shalat) di awal siang hari (pagi hari) sampai adanya larangan di tengah hari.” [7]

Waktu Utama Shalat Dhuha

Adapun waktu utama untuk melaksanakan shalat dhuha adalah di akhir waktunya. Syekh Ibnu Utsaimin menyatakan, “Melaksanakannya di akhir waktu adalah lebih utama.” [8]
Hal ini dijelaskan dalam hadits yang berbunyi,

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

“Sesungguhnya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum melakukan shalat dhuha, lalu beliau berkata, ‘Apakah mereka belum mengetahui bahwa shalat pada selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu bersabda, ‘Shalat al-awwabin (hendaklah dilakukan) ketika anak unta kepanasan.`” (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Shalat al-Awwabina hina Tarmidhu al-Fishal, no. 748)

Jumlah Rakaat dan Tata Caranya

Disyariatkan bagi seorang muslim untuk melakukan shalat dhuha sebanyak dua, empat , enam, atau delapan rakaat, atau lebih, tanpa ada batasan tertentu. Inilah yang dirajihkan oleh Syekh Ibnu Utsaimin dalam pernyataan beliau, “Yang benar adalah bahwasanya tidak ada batas untuk banyaknya, karena ‘Aisyah berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ الله

‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melakukan shalat dhuha sebanyak empat rakaat, dan beliau menambahnya sebanyak yang beliau inginkan.’ (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbaab Shalat Dhuha, no. 719)

Jumlah rakaat shalat dhuha tidak ada pembatasannya. Seandainya seorang sholat dari terbit matahari setombak sampai menjelang tergelincir matahari, misalnya empat puluh rakaat, maka ini semua masuk dalam shalat dhuha.” [9]

Ini semua dilakukan dengan dua rakaat-dua rakaat, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى

“Shalat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.” (Hr. an-Nasa’i dalam Kitab Qiyam al-Lail wa Tathawu’ an-Nahar, Bab Kaifa Shalat al-Lail: 3/227, dan Ibnu Majah dalam Kitab Iqamat ash-Shalat wa as-Sunnah fiha, Bab Ma Ja`a fi Shalat al-Lail wa an-Nahar Matsna Matsna, no. 1322; diniai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah: 1/221)

Demikianlah beberapa hukum seputar shalat dhuha. Semoga bermanfaat.

Artikel www.PengusahaMuslim.com

===
Catatan kaki:

[1] Disarikan dari asy-Syarhu al-Mumti’: 4/115-117, Shahih al-Fiqh as-Sunnah: 1/422-424, dan Zad al-Ma’ad: 1/318-348.
[2] Asy-Syarhu al-Mumti’: 4/116.
[3] Zad al-Ma’ad: 1/346.
[4] Majmu’ Fatawa: 22/284.
[5] Asy-Syarhu al-Mumti’: 4/117.
[6] Lihat: asy-Syarhu al-Mumti’: 4/122–123.
[7] Syarhu al-Mumti’: 4/123.
[8] Ibid.
[9] Ibid: 4/119.


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/2441-shalat-dhuha.html